Reunifikasi Hubungan Internasional
Integrasi di dunia internasional bertambah pesat setelah
Perang Dingin berakhir. Menurut Ernst Haas, seperti yang dikutip oleh Mochtar
Masoed dalam bukunya, Ilmu
Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi, integrasi didefinisikan sebagai proses
aktor-aktor di beberapa wilayah nasional yang berbeda yang terdorong untuk
memindahkan kesetiaan, harapan dan kegiatan politik mereka ke suatu pusat baru
yang lembaga-lembaganya memiliki dan menuntut yurisdiksi atas negara-negara
nasional yang ada sebelumnya (Masoed, 1994:153). Dapat ditambahkan pula bahwa
dalam kaitannya dengan Perang Dingin, negara-negara yang mengalami pemisahan
struktural seperti Korea dan Jerman merupakan wujud entitas yang
merefleksikan dorongan integrasi, atau secara lebih tepat adalah reunifikasi.
Integrasi dapat berarti bahwa kepekaan terhadap
komunitas telah tercapai, di mana masyarakat telah setuju bahwa konflik dan
masalah dapat terselesaikan tanpa pengerahan kekuatan fisik dalam skala yang
besar (Jackson & Sorensen, 1999:111). Reunifikasi tidak jauh berbeda dengan
integrasi. Reunifikasi merupakan salah satu aspek kehidupan bernegara, yaitu
bersatunya kembali dua atau lebih unit politik dan segala aspeknya (secara
menyeluruh). Reunifikasi adalah penyatuan negara terpisah atau unit politik
lainnya di bawah kekuasaan yang sama. Integrasi dapat berlangsung sebagai
fenomena internasional atau regional, yang dapat dilihat sebagai proses ataupun
hasil yang merupakan refleksi dan semangat kerjasama antarnegara dalam anarki
internasional (Viotti & Kauppi, 1998:481).
Reunifikasi adalah unifikasi (penyatuan) kembali 2 negara atau lebih
menjadi satu negara induk yang sebelumnya terpecah karena peristiwa sejarah (http://id.wikipedia.org/wiki/Reunifikasi).
Negara-negara yang mempunyai isu reunifikasi biasanya adalah dua negara atau
lebih yang terpecah setelah Perang Dunia II terutama karena persaingan
antara blok Barat dan Timur.
Keinginan untuk mengadakan reunifikasi
disebabkan adanya rasa nasionalisme. Ada
beberapa anggapan mengenai nasionalisme:
1.Nasionalisme
memperkenalkan demokrasi.
2.Nasionalisme mendorong
penentuan nasib sendiri (self-determination).
3.Nasionalisme mendukung
pembangunan ekonomi.
4. Nasionalisme
menyebabkan integrasi.
5.Nasionalisme
menyebabkan disintegrasi.
6. Nasionalisme
menyebabkan perpecahan dan kesusahan.
7.Nasionalisme dapat
menimbulkan xenofobia.
8. Nasionalisme dapat
menimbulkan perasaan superioritas.
9. Nasionalisme dapat
menimbulkan jingoistik.
10.Nasionalisme
memungkinkan munculnya sifat agresif. (Minix & Hawley, 1998:89).
Nasionalisme bisa menjadi kekuatan yang
membangun (positive force) atau
menjadi kekuatan yang merusak (destructive
force). Sebagai kekuatan yang membangun nasionalisme dapat digunakan
sebagai alat untuk menggalang persatuan dan kesatuan (Minix & Haley,
1998:88-89). Nasionalisme dapat menjadi kekuatan yang berguna apabila
menimbulkan makna identitas (sense of identity)
dan rasa memiliki (sense of belonging)
bagi individu. Nasionalisme bisa menjadi kekuatan yang merusak apabila suatu
negara menganggap suatu peranan yang lebih tinggi bisa dicapai dengan mengorbankan
wilayah dan kesejahteraan negara lain atau suatu kelompok etnis minoritas
dengan merusak hak-hak yang dimilikinya (Columbis & Wolfe, 1990:83-84).
0 Response to "Reunifikasi Hubungan Internasional"
Post a Comment