Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu:
Pertama, prinsip penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu sistem berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan atau dianut oleh suatu negara bangsa (Nation State) sebagai satu kebijakan, seperti sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, devolusi, parlementair, presidensiil dlsb. Tergantung dari sistem mana yang dianut oleh suatu Negara Bangsa (Nation State) tersebut. Sistem ini berkaitan dengan kebijakan pembagian kekuasaan (Division of Power) di dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan negara, baik secara horisontal (Capital Division of Power) antara lembaga-lembaga negara yang ada, maupun secara vertikal antara Pusat dan Daerah (Areal Division of Power).
Di dalan Negara Kesatuan (Unitary State), secara vertikal terdapat ”Satuan Pemerintahan Nasional” (Pemerintah Pusat) dan ”Satuan Pemerintahan Sub-National” (Pemerintahan Daerah), sedangkan secara horisontal terdapat Badan-badan/Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Judicatif. Kekuasaan atau kewenangan dibagi (”diberikan; toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan daerah yang dibentuk dengan Undang-undang, namun kedaulatan (souvereignty) yang melekat kepada Negara dan Bangsa tidak dibagi kepada pemerintah daerah.
Satuan Pemerintahan Sub Nasional merupakan hasil pembentukan dan
pengembangan pemerintahan. Karenanya, kewenangan pemerintahan sub nasional
dapat ditambah, dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan melalui proses hukum dan
per-undang-undangan. Kedudukan satuan pemerintahan sub nasional, karenanya pula
adalah ”tergantung” (dependent) kepada
pemerintah nasional. Karena itu pula ia berada di bawah (sub ordinated) pemerintah nasional.
Sistem pemerintahan NKRI tidak menganut paham ”sentralisme” dalam kekuasaan, melainkan mengakui dan menganut prinsip ”desentralisasi” dalam pemerintahan. Sesuai dengan amanat UUD, dalam rangka menjalankan prinsip desentralisasi di wilayah NKRI dibentuk daerah-daerah Provinsi, dan di wilayah provinsi dibentuk daerah-daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom.
Secara juridis, politis dan administratif, daerah otonom mempunyai kewenangan ”otonomi daerah” yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat kepada masyarakat setempat dalam wilayah tertentu sesuai dengan aspirasi dan oto-aktivitas masyarakat sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, yang dijalankan oleh pemerintahan daerah yang mempunyai kewenangan dan berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri . Dengan kata lain ”daerah otonom” mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, tidak sepenuhnya dilaksanakan secara ”desentralistik”, tetapi ada beberapa bagian yang tetap dilaksanakan secara ”sentral”, karena pertimbangan pencapaian tujuan (doelmatig), dayaguna dan hasilguna, serta karena sifat dan coraknya yang tidak bisa lain harus diselenggarakan secara sentral. Pertimbangannya didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan, seperti dianut di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999.
Kedua, dalam koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang sering terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam kaitannya dengan pelayanan publik adalah prinsip penyelenggaraan pemerintahan dari aspek ”kepatutan pemerintahanan” (”Behoorlijk Bestuur”), karena aspek ini seringkali dipengaruhi oleh ”perilaku” (behaviour) dan value judgement dari para penyelenggara negara. Prinsip-prinsip tersebut seperti, antara lain: Vrijbestuur; Nach Freies Ermessen, Preventieve Rechtszorg; Omnipresence dan Van zelf principles, serta prinsip-prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik, sering terabaikan.
Walaupun UU No. 32 Tahun 2004
mencantumkan asas-asas kepatutan dengan merujuk kepada UU No. 28 Tahun 1999,[1] tetapi tidak secara
imperatif mengkaitkannya dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan sebagai
suatu sistem. Bahkan suatu kekeliruan yang cukup mendasar dalam UU No. 32 Tahun
2004 tersebut yang membedakan antara asas penyelenggaraan sistem pemerintahan
di pusat dengan asas penyelenggaraan sistem pemerintahan pada pemerintahan
daerah, yang menekankan bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahan, pemerintah menggunakan asas-asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan,[2] sedangkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas ”otonomi dan tugas pembantuan”[3]
sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan
di daerah, padahal ”otonomi dan tugas pembantuan” merupakan hak dan wewenang (bukan asas) yang diberikan (”toekennen”) oleh pemerintah pusat yang
merupakan manifestasi atau perwujudan dianutnya
asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Oleh karena itu, betapapun
baiknya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dianut oleh suatu negara
bangsa, kalau tidak dibarengi dengan penegakkan ”asas-asas kepatutan
pemerintahan” yang dilakukan oleh para
penyelenggara negara, maka kepentingan masyarakat dalam bentuk pelayanan publik
untuk mensejahterakan masyarakat, tetap akan sulit untuk dapat diwujudkan.
Dalam kedudukannya sebagai
Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, dengan
kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah
berkewajiban untuk:[4]
- melindungi masyarakat,
menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
- meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat;
- mengembangkan kehidupan
demokrasi;
- mewujudkan keadilan dan
pemerataan;
- meningkatkan pelayanan
dasar pendidikan;
- menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan;
- menyediakan fasilitas
sosial dan fasilitas umum yang layak;
- mengembangkan sistem
jaminan sosial;
- menyusun perencanaan dan
tata ruang daerah;
- mengembangkan sumber
daya produktif di daerah;
- melestarikan lingkungan
hidup;
- mengelola administrasi
kependudukan;
- melestarikan nilai
sosial budaya;
- membentuk dan menerapkan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
- kewajiban lain yang
diatur dalam perundang-undangan
Misalnya, dalam menerapkan asas ”Omnipresence dan Van zelf principles” yang pada dasarnya memandang bahwa
pemerintahan itu berada di mana-mana, tidak terikat kepada ruang dan waktu,
sehingga pada intinya prinsip ini mewajibkan kepada masyarakat untuk tetap
mentaati peraturan perundang-undangan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah,
sekalipun tidak secara terus menerus diawasi oleh pemerintah, namun ketika
rakyat memerlukan pertolongan atau bantuan, maka dengan sendirinya (van zelf) merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk membantunya, sehingga disini terjadi
”kewajiban yang berimbang” antara pemerintah dan masyarakat.
Preventieve Rechtszorg adalah suatu prinsip dalam
pemerintahan yang menyatakan bahwa peranan dan tugas utama pemerintahan adalah
menjaga agar supaya anggota masyarakat
mentaati tertib hukum dan mencegah (to
prevent) agar supaya masyarakat tidak melanggar aturan-aturan hukum yang
berlaku. Jadi, intinya adalah ”tidak patut” (onbehoorlijk)
apabila para aktor penyelenggara
negara membiarkan anggota masyarakat untuk melanggar hukum kemudian ditindak (represif). Prinsip ini berkaitan dengan prinsip Omnipresence dan Van Zelf
principles, contohnya: penggusuran kios-kios PKL di jalan-jalan trotoir,
dlsb.
[1] Lihat Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004
[2] Lihat Pasal 20 ayat (2) UU No. 32 Tahun
2004.
[3] Ayat (3) Pasal 20 UU No. 32 Tahun
2004.
[4] Lihat Pasal 22 UU No.32 Tahun 2004.